Pendakian ter-impulsif yang pernah saya lakukan. Ya. Sangat impulsif. Berawal dari ajakan kakak untuk mendaki gunung Kerenceng bersama rekan-rekannya yang suka mendaki, saya pun penasaran dengan gunung satu ini. Sebenarnya, saya sendiri baru pertama mendengar nama Kerenceng. Di area Bandung Timur, Hanya gunung Geulis, Kareumbi dan Manglayang, yang saya tahu. Padahal, selain gunung tersebut masih banyak gunung lainnya. Salah satunya Gunung Kerenceng ini.
Awalnya ragu ikut mendaki gunung setinggi 1736 Mdpl ini, namun karena sudah beberapa bulan tidak naik gunung, rasa-rasanya tidak ada salahnya kaki ini diajak menapaki jalanan terjal kembali, tambah lagi otak sudah jenuh. Perlu menghirup udara pegunungan. ๐
Dari segi ketinggian gunung yang mencakup kecamatan Sumedang Selatan, kecamatan Cimanggung dan kecamatan Pamulihan ini memang tidak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan gunung-gunung yang lebih terkenal di area Bandung Timur atau di daerah Garut lainnya seperti gunung Manglayang ataupun Papandayan. Namun, untuk urusan trek ataupun view di atas puncaknya, jangan ditanya, tidak kalah indah dibanding gunung-gunung yang lebih dulu pamor. Dan hal yang paling membedakannya adalah, gunung Kerenceng masih tergolong gunung yang masih alami karena belum begitu dikenal para pendaki gunung.
Karena mendadak, tidak banyak persiapan yang saya lakukan apalagi saat diberitahu kalau pendakian kali ini tidak pakai acara nge-camp tapi tek-tok (naik turun gunung di hari yang sama), hanya tas ransel berisi air minum, sedikit cemilan, jas hujan, dompet dan HP serta jaket. Sepatu yang saya pakai pun hanya sepatu trekking biasa yang saya pakai sehari-hari. Informasi trek dan lainnya pun tidak banyak saya cari, selain memang tidak banyak catatan yang membahas pendakian gunung satu ini.
Pukul 08.00 pagi start dari rumah bersama 10 orang lainnya, kami pun berangkat menggunakan sepeda motor ke titik pendakian di daerah Pasir tengah, Cimanggung, Kab. Sumedang. Sesampainya disana, sekitar pukul 09.00, sudah ada 5 orang lainnya yang menunggu kami. Merekalah yang akan memandu kami mendaki gunung Kerenceng. Total ada 15 orang. Jumlah yang cukup untuk pendakian pertama ke gunung yang baru didaki. 7 Pria dan 8 Wanita. Setelah briefing singkat, kami pun langsung berangkat ke pintu masuk kebun warga dan hutan.

Foto bersama sebelun naik-naik ke puncak gunung
Gunung yang diduga pernah mengalami aktivitas vulkanik ini memiliki dua jalur pendakian. Pertama lewat kampung Jambu aer maupun kampung Sayuran di desa Sindulang, Kecamatan Cimanggung. Kedua, lewat kampung Situhiang, Desa Tegalmanggung, Kecamatan Cimanggung. Jalur yang paling banyak digunakan adalah lewat Sindulang.
Perjalanan naik yang penuh drama
Jalur yang kami pilih (yang dipilih oleh rekan kami yang sudah pernah naik lebih tepatnya) adalah jalur lewat kampung Situhiang. Setelah memasuki perkebunan warga dan pintu masuk hutan, kita akan disambut beberapa koloni pohon bambu yang besar serta beberapa pohon pinus.
Setelah melewati hutan, kami pun melewati semak belukar dan padang ilalang yang cukup tinggi. Melihat jalurnya yang hanya cukup satu orang saja, saya sudah bisa menebak bahwa jalur yang kami pilih jarang sekali dilewati oleh penduduk. Kebanyakan jalan yang kami lalui adalah jalur air saat hujan turun. Dan, inilah kali pertama saya mendaki gunung yang masih belum terjamah dalam arti sebenarnya. Hanya ada rombongan kami di sepanjang jalur. Tidak ada penduduk atau pun pendaki lain sama sekali.
Selepas melewati hutan dan sempat beristirahat di tanah yang cukup lapang dengan pemandangan yang ciamik, drama pertama dimulai. Saat kami melewati hutan patambon, ternyata jalan yang dipilih oleh rekan kami salah. Untuk sampai ke jalur yang seharusnya, kami dihadapkan pada sebuah tebing curam 45 derajat. Tanpa bantuan tali dan lainnya, mau tidak mau kami harus sampai ke atas.
Ingin rasanya mengutuki dia yang sudah membawa kami melewati jalur anti-mainstream ini, namun saya sadar bahwa tidak ada gunanya mengeluh, apalagi menggerutu. Jalani saja! Kata paling ampuh saat kita dihadapkan trek berat seperti ini. Mau gimana lagi, tak ada pilihan lain selain menapaki tebing dengan berpegangan pada akar dan rerumputan di sekitar tebing. Dan berpegang pada pertolongan Tuhan pastinya. ๐
Satu persatu dari kami naik ke atas, dibantu oleh rekan kami lainnya yang sudah duluan sampai diatas. Tinggal dua orang di belakang saya. Belum sampai ke atas, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dari atas menyusul suara seperti ada yang jatuh ke bawah. Ternyata, salah satu rekan kami terjatuh ke bawah sesaat setelah dia sampai di atas. Dengan cekatan, salah satu rekan kami bernama Jali, turun ke bawah melihat kondisi teman kami yang jatuh. Setelah dipanggil ternyata, rekan kami yang terjatuh masih menjawab dan bilang baik-baik saja. Syukurlah. Kaget campur khawatir dengan nasib rekan kami. Tak ada pilihan lain. Dengan kondisi hati tak karuan, saya pun memaksakan kaki untuk tetap memanjat tebing penuh semak belukar. Dengan susah payah dan penuh kehati-hatian, saya pun sampai di atas dengan selamat. Alhamdulillah. Sungguh awal pendakian yang menguras energi.
Perjalanan pun kami lanjutkan melewati hutan sekunder dengan pepohonan yang tidak begitu rapat. Trek sulit baru kami temui setelah hampir 2 jam berjalan. Deretan tanjakan seakan tak berujung menanti di depan kami. Tanjakan dengan bebatuan. Saya bisa perkirakan bahwa ini adalah jalur air hujan. Hampir satu jam, trek semacam ini kami lewati. Hingga kami lihat sebuah tebing tinggi yang kami kira itu adalah puncak gunung Kerenceng. Ternyata, kami salah. Itu adalah puncak bayangan. Puncak sebenarnya ada di balik puncak bayangan tersebut. Oke. gunung Kerenceng ini gunung PHP juga ternyata. ๐
View indah mulai terlihat. Jalan setapak kami lewati dengan tanah berkontur miring di sisi kiri dan kanan. Jika pandangan kita arahkan ke kiri, terlihat hutan Kareumbi dengan pepohonan yang lebat dan rapat. Suara satwa hutan mulai terdengar sayup-sayup. Kami harus lebih berkonsentrasi saat melewati trek menuju puncak bayangan. Gagal fokus sedikit bisa terpeleset dan fatal akibatnya.

Di antara semak dan ilalang

Gara-gara salah jalur

Jalur menanjak menuju puncak bayangan

Panorama indah sepanjang jalur

Hutan Kareumbi terlihat dari gunung Kerenceng
Puncak yang sepi
Setelah kurang lebih satu jam kami berjalan sambil sesekali mengabadikan foto, sekitar pukul 13.00 sampailah kami di puncak bayangan Gunung Kerenceng. Areanya tidak terlalu luas. Saya perkirakan maksimal 3 tenda bisa dibangun disini. Kabut mulai naik, menutupi perlahan panorama alam disekitar kami. Terlihat puncak Kerenceng sebenarnya dari tempat kami berada.

Petunjuk arah ke puncak Kerenceng dari puncak bayangan
Saya agak terkejut melihat rupa puncak yang dimaksud. Untuk ukuran sebuah puncak gunung, terlalu kecil menurut saya. Dari kejauhan, terlihat ada 2 orang yang berada di atas puncak saat itu. Kabut semakin tebal, hingga menutupi jalur menuju puncak.
Rekan kami yang sudah pernah naik ke puncak sebelumnya, tidak menyarankan untuk naik ke puncak Kerenceng, karena trek menuju kesana cukup berbahaya dengan jalur kiri kanan jurang dan sempit hanya cukup untuk satu orang. Sebagian besar sudah kelelahan dan memilih beristirahat di puncak bayangan sambil menikmati bekal makan siang yang dibawa dari rumah.
Karena saya dan rekan saya yang bernama Rofi penasaran dengan puncaknya, akhirnya kami berdua memutuskan untuk naik ke puncak. Ada untungnya kabut tebal menyelimuti jalur saat itu, sehingga jurang tak jelas terlihat oleh kami. Saat mulai menapaki jalur ke puncak ternyata benar adanya. Jalur yang sempit dengan sisi kiri dan kanan jurang tinggi membuat jantung saya berdegup cukup kencang. Satu-satunya cara adalah fokus melihat jalur yang saya tapaki. Tak sedikitpun rasa ingin mengambil foto saat melewati jalur ini. Yang ada, kami hanya sibuk berdoa dan fokus dengan langkah masing-masing.
Setelah kurang dari setengah jam, sampailah kami di puncak Kerenceng. Puncak yang benar-benar kecil. Mungkin hanya cukup 7-8 orang berdiri di atas puncak ini. Baru kali ini saya menapaki puncak gunung yang kecil dan sepiiii sekali. Tak terdengar suara orang sibuk mengarahkan gaya untuk berfoto ataupun berkata ‘yeay! puncak euy’ dan ungkapan bahagia lainnya dari pendaki yang biasanya terdengar ramai setiap berhasil mencapai puncak gunung. Berbeda dengan pengalaman kali ini, yang terdengar hanyalah suara burung elang, satwa hutan, semilir angin berkabut, dan suara pohon tersapu angin. Agak horor sih. Saya seperti berada di hutan terlarangnya Harry Potter. ๐

View dari puncak Kerenceng

Silent
Tak lebih dari 15 menit, setelah berdiam diri menikmati keindahan alam dari puncak dan mengambil beberapa foto, kami pun segera turun mengingat kabut semakin tebal. Khawatir angin kencang dan hujan deras turun saat kami melewati lampingan tipis jalur puncak.
Benar saja. Kabut semakin cepat naik. Jarak pandang semakin pendek. Hutan dan jalur pun terlihat makin tak jelas. Saya memilih berada di belakang Rofi saat turun dari puncak. Kaki sudah mulai lelah, namun rasa ingin cepat sampai puncak bayangan lebih besar. Di tengah jalur dengan lampingan yang tipis, tiba-tiba kaki kehilangan keseimbangan dan terpeleset ke arah kiri. Bahkan suara ‘aduh’ saya pun kalah berisik dengan suara angin berkabut saat itu. Padahal jarak Rofi dan saya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 5 meter, tapi dengan jarak segitu pun suara saya tak terdengar. Untungnya, saya terpeleset ke arah kiri yang kontur tanahnya miring, bukan sisi kanan yang lebih curam jadi lebih mudah bagi saya untuk menahan kaki kiri saya.
Setelah 15 menit perjalanan dari puncak utama ke puncak bayangan kami pun mendengar sayup-sayup suara orang tertawa dari arah depan kami. Ah, sungguh lega rasanya. Perjalanan singkat secara waktu namun terasa lama rasanya menyisakan rasa yang tak mampu saya gambarkan. Selalu ada hal spesial yang saya rasakan ketika menapaki jalur menuju puncak. Mungkin semacam rasa bahwa ternyata saya ini makhluk yang benar-benar lemah dan tidak ada apa-apanya. Diberi jalur lamping tipis seperti itu saja, cukup membuat saya merasa takut dan ingin menyerah. Apa kabar dengan jalan Shirotol mustaqim ya? ๐
Sesampainya di puncak bayangan, terpal berukuran tak terlalu besar sudah tergelar. Terlihat beberapa rekan saya membereskan satu persatu kertas nasi kosong yang isinya sudah dilahap habis. Beberapa orang lagi asyik berbincang sambil menghisap rokok di sudut lainnya. Melihat kami berdua muncul diantara kabut, terlihat raut muka lega dari wajah mereka terutama kakak saya yang sejak tadi berusaha menelpon tapi hasilnya nihil. Rasa lelah terobati setelah melahap bekal makan siang yang sudah disiapkan untuk kami berdua.
Kabut tebal yang datang memang ada maksudnya. Tiba-tiba hujan deras turun, membuat semuanya sibuk mencari cara bagaimana agar kami semua terlindungi dari derasnya hujan. Flysheet mulai dipasang seadanya. Yang penting kami tidak kehujanan. Karena tidak ada yang membawa tenda satu pun, kami pun berteduh dengan alat seadanya. Hujan semakin deras. Tak terlihat lagi panorama hutan dan deretan gunung di sekeliling kami. Yang terlihat hanya kabut, kabut dan kabut. Jam menunjukkan pukul 15.00. Itu berarti sudah 2 jam kami berada di puncak bayangan. Awalnya, kami hanya akan beristirahat disini 1 jam saja. Mengingat kami harus turun sebelum matahari terbenam. Namun, hujan deras yang mengguyur gunung Kerenceng saat itu memaksa kami untuk bertahan disini lebih lama 1 jam dari rencana awal.
Perjalanan turun yang melelahkan
Pukul 15.00 lewat hujan lebat mulai reda berganti hujan gerimis. Tanpa berpikir panjang, kami pun sepakat segera berkemas dan membersihkan semua sampah untuk dibawa serta turun. Tak lupa jas hujan kami pakai, mengingat air hujan tak sepenuhnya hilang.
Satu hal yang kami khawatirkan adalah hujan deras yang turun tadi sudah pasti akan membuat jalur turun akan semakin berat kami lewati nanti. Tanah licin, sempit dan aliran air hujan yang pasti mengiringi langkah kami menjadi tantangan yang harus kami hadapi. Ditambah kondisi fisik yang tak sekuat saat naik menjadikan tiap orang harus lebih memperhatikan satu sama lain. Inilah pelajaran lainnya dari mendaki gunung. Kadang kita dihadapkan pada hal diluar harapan kita. Namun, dengan cara itulah sifat sosial kita dipaksa muncul. Rasa solidaritas, kepedulian, menahan ego untuk ingin segera turun, saling memperhatikan satu sama lain maupun saling tolong menolong saat ada rekan kita yang terpeleset atau kelelahan. Pelajaran semacam itulah yang kadang tidak kita temukan setelah berada di dataran rendah.
Jalur sempit dari puncak bayangan kami lewati dengan sangat hati-hati. Benar saja. Tanah yang sebelumnya keras, berubah sangat licin. Hujannya awet pula. Perjalanan turun ternyata lebih menguras energi ketimbang saat naik. Kaki kami sudah bersahabat dengan genangan air semata kaki. Mengingat jalur yang kami lewati memang jalur air hujan. Selepas turunan terjal dari puncak bayangan, jalur yang kami lewati berganti ke jalur yang lebih bersahabat. Turunannya tak terlalu terjal, hanya semak-semak setinggi badan yang harus kami halau setiap kami lewat.

Jalur yang licin setelah diguyur hujan deras
Langit mulai cerah kembali walau matahari masih malu-malu untuk muncul. Kami pun berhenti di sebuah tanah lapang kecil dan tertulis ‘pos 2’ pada sebatang pohon di area tersebut. Rasa-rasanya saat naik, saya ga ngeuh ada pos ini. Ternyata memang jalur turun sedikit berbeda dengan jalur naik tadi. Akhirnya, kami semua beristirahat sejenak sambil menunaikan ibadah shalat ashar.

Area camp di pos I
Setelah melepas lelah sejenak, kami pun melanjutkan perjalanan turun. Dan, insiden saat perjalanan naik terulang. Salah jalur. Ya. Kami kembali melewati jalur yang salah. Turunan cukup extrim harus kami lewati tanpa bantuan tali dan lainnya, hanya mengandalkan akar pohon dan semak samping kiri dan kanan. Beberapa kali masing-masing dari kami terpeleset lalu berdiri lagi, terpeleset lalu berdiri lagi. Memang tidak lama jalur seperti ini, tapi tetap saja dengan kondisi fisik yang sudah lelah, rasanya lama sekali sampai ke jalur yang benar. Akhirnya, sampailah kami di jalur yang seharusnya.
Matahari sudah mulai benar-benar tenggelam. Jam menunjukkan pukul 17.30, itu berarti kami harus mempercepat langkah kami, agar bisa sampai rumah penduduk sebelum langit benar-benar gelap. Telat pukul 18.00 Kami sampai di hutan dengan beragam pohon yang cukup besar serta beberapa pohon bambu yang berkoloni. Suasana seperti ini yang saya tidak suka. Trek malam diantara hutan. Kami lewati area ini dengan langkah yang hampir bisa dibilang setengah berlari karena ingin cepat sampai. ๐
Pukul 18.30 sampailah kami di rumah salah satu rekan kami yang dijadikan titik kumpul awal pendakian tadi pagi. Lega rasanya. Saya tidak menyangka perjalanan naik gunung Kerenceng cukup membuat badan seletih ini. Padahal saya pikir dengan ketinggian gunung yang tak terlalu tinggi dengan rencana pendakian tek-tok, pendakiannya akan mudah, namun saya salah. Pembelajaran yang bisa saya ambil adalah jamgan remehkan gunung sependek apapun itu. Karena tiap gunung memiliki karakteristiknya masing-masing.
Jika ditotal, perjalanan ke gunung Kerenceng memakan waktu hampir 8 jam. Dengan kondisi santai dan banyak berhentinya.
Beberapa saran dari saya untuk kalian yang akan mendaki gunung Kerenceng:
- Sebaiknya mendaki melalui jalur jambu aer yang lebih familiar dan banyak dilalui penduduk
- Jika akan melakukan pendakian secara tek-tok, mendakilah lebih pagi agar bisa turun sebelum matahari terbenam
- Pakai baju berbahan ringan dan mudah kering, terutama saat musim hujan dan jangan lupa bawa jas hujan
- Saat musim kemarau bawa alat pelindung kepala karena udaranya panas mengingat tidak terlalu banyak pohon yang tinggi.
- Mendakilah dengan orang yang sudah paham dan pernah naik Gunjung Kerenceng agar perjalanannya lebih lancar.
- Walaupun tergolong gunung yang pendek, namun kondisi fisik tetap harus disiapkan.
- Bawa sampahmu dan tetap jaga kelestarian gunung Kerenceng, mengingat gunung Kerenceng masih tergolong gunung yang alami.
Itulah pengalaman saya mendaki Gunung Kerenceng, Sumedang. Semoga bermanfaat. Jika ada saran atau tips lain tentang pendakian gunung Kerenceng, tinggalkan komentarmu dibawah ya.
Salam lestari.